Wilayah Gaza kembali menjadi panggung dari drama geopolitik yang rumit setelah pengakuan mengejutkan dari Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, bahwa Israel telah terlibat dalam pemberian senjata kepada klan-klan di Gaza yang memiliki sikap oposisi terhadap Hamas. Dalam lanskap politik dan militer yang sudah sangat kompleks, pengakuan ini menambah lapisan baru dalam konflik Israel-Palestina dan memunculkan reaksi keras dari berbagai pihak.
Langkah ini dinilai oleh banyak pengamat sebagai taktik “pecah belah” atau divide and conquer, yang tak hanya memperkeruh kondisi internal di Gaza, tapi juga memperdalam luka sosial di antara warga Palestina sendiri. Pengakuan Netanyahu ini pun menimbulkan gelombang kontroversi dari kalangan politisi Israel, pemimpin Arab, kelompok hak asasi manusia, hingga masyarakat internasional.
Artikel ini akan mengupas secara mendalam motif Israel di balik kebijakan ini, profil klan-klan di Gaza, implikasi geopolitik regional, serta potensi jangka panjang dari strategi yang dianggap oleh banyak pihak sebagai taktik berisiko tinggi.

Latar Belakang Konflik Gaza dan Hamas
Sejak Hamas mengambil alih kekuasaan di Jalur Gaza pada 2007, wilayah ini menjadi kantong perlawanan utama terhadap keberadaan Israel. Berbagai upaya perdamaian antara Israel dan Palestina terhenti, dan Gaza menjadi tempat terjadinya sejumlah konflik berdarah, seperti perang tahun 2008-2009, 2012, 2014, dan eskalasi terbaru pada 2021 dan 2023.
Hamas, yang dicap sebagai organisasi teroris oleh Israel, AS, dan Uni Eropa, menguasai jalur pemerintahan dan militer di Gaza. Namun, kekuasaan ini tidak sepenuhnya stabil. Sejumlah keluarga besar atau klan di Gaza secara historis memiliki ketegangan dengan Hamas, baik karena alasan ideologis, ekonomi, maupun pertikaian kekuasaan lokal.
Dalam konteks inilah, pengakuan Netanyahu bahwa Israel memanfaatkan perpecahan internal di Gaza dengan mempersenjatai klan-klan anti-Hamas menjadi sangat signifikan.
Isi Pernyataan Netanyahu: Sebuah Pengakuan Terbuka
Dalam sebuah wawancara dengan media Israel yang disiarkan secara luas, Netanyahu menyebutkan bahwa Israel telah mengambil “langkah-langkah preventif dan strategis” untuk membatasi dominasi Hamas di Gaza, termasuk dengan “mengidentifikasi dan mendukung kelompok-kelompok lokal yang tidak sejalan dengan kepemimpinan radikal Hamas.”
Meskipun Netanyahu tidak menyebutkan secara eksplisit jenis senjata atau jalur distribusi, beberapa pejabat pertahanan yang tidak ingin disebutkan namanya mengonfirmasi bahwa dukungan itu mencakup pasokan senjata ringan, pelatihan intelijen, dan dukungan logistik.
Pengakuan ini memicu debat sengit di Knesset (parlemen Israel), dengan beberapa anggota menyebut langkah tersebut sebagai “berbahaya, tidak etis, dan kontraproduktif”.
Klan-Klan di Gaza: Siapa Mereka?
Di balik lanskap perkotaan Gaza yang padat dan penuh ketegangan, terdapat struktur sosial yang berakar pada sistem kekeluargaan atau klan. Klan ini adalah kelompok keluarga besar yang memiliki jaringan kekuasaan, ekonomi, dan bahkan milisi sendiri.
Beberapa klan yang disebut-sebut terlibat atau mendapat dukungan Israel antara lain:
- Klan Doghmush – dikenal pernah bentrok dengan Hamas dan memiliki afiliasi dengan kelompok Fatah serta unsur kriminal.
- Klan Abu Samhadana – memiliki sejarah ketegangan dengan Hamas dan diduga memiliki kontak dengan aktor eksternal.
- Klan Hilles – sebelumnya menjadi pendukung Fatah dan mengalami konflik dengan Hamas saat pengambilalihan Gaza tahun 2007.
Israel melihat bahwa klan-klan ini bisa dijadikan mitra strategis untuk menciptakan tekanan dari dalam terhadap kekuasaan Hamas. Namun, pendekatan ini dipertanyakan efektivitas dan moralitasnya.
Motif Strategis Israel
Dari sudut pandang Israel, mendukung klan anti-Hamas memiliki beberapa tujuan:
- Melemahkan Hamas dari dalam: Dengan memunculkan pusat-pusat kekuasaan tandingan di wilayah Gaza, dominasi Hamas bisa dikurangi.
- Menumbuhkan konflik internal: Perang saudara kecil antara faksi-faksi di Gaza akan mengalihkan perhatian dari konflik dengan Israel.
- Menanamkan pengaruh jangka panjang: Melalui infiltrasi jaringan klan, Israel bisa membentuk agen atau simpatisan di jantung wilayah musuh.
Namun, strategi ini sangat berisiko. Beberapa analis menyebutnya sebagai permainan berbahaya yang bisa berujung pada kekacauan sipil atau bahkan munculnya kekuatan ekstremis baru yang tak terkontrol.
Reaksi Internal Palestina
Pengakuan Netanyahu langsung memicu gelombang kemarahan di Gaza dan Tepi Barat. Hamas menyebut langkah ini sebagai “bukti nyata bahwa Israel berupaya menciptakan perang sipil di Palestina.” Kelompok itu juga menuduh klan-klan yang terlibat sebagai “pengkhianat dan antek Zionis”.
Pemerintah Otoritas Palestina di Ramallah juga mengecam keras tindakan tersebut. Juru bicara Presiden Mahmoud Abbas menyatakan bahwa “campur tangan Israel dalam urusan internal masyarakat Gaza adalah bentuk kolonialisme modern.”
Protes-protes kecil terjadi di beberapa wilayah Gaza, dan beberapa rumah tokoh klan yang dicurigai menerima bantuan dari Israel diserang oleh warga.
Reaksi Internasional: Kecaman dan Kekhawatiran
Di tingkat internasional, sejumlah negara dan lembaga hak asasi manusia mengecam strategi Israel ini. Amnesty International dan Human Rights Watch menyebut bahwa mempersenjatai aktor non-negara dalam wilayah konflik adalah tindakan yang melanggar hukum internasional.
Beberapa negara seperti Turki, Iran, dan Qatar mengeluarkan pernyataan resmi mengecam Israel atas “usaha menciptakan perang saudara di tanah Palestina.” Bahkan negara-negara sekutu seperti Prancis dan Jerman menyuarakan keprihatinan mendalam atas pengakuan Netanyahu.
Amerika Serikat berada di posisi sulit. Sebagai sekutu utama Israel, Washington belum mengeluarkan kecaman langsung, tetapi sejumlah anggota Kongres menyatakan bahwa langkah Netanyahu bisa merusak upaya diplomatik jangka panjang.
Implikasi Keamanan Regional
Tindakan Israel ini memiliki dampak besar terhadap keamanan kawasan:
- Di Gaza, potensi konflik antar-klan dan milisi meningkat. Hamas kemungkinan akan melakukan penangkapan besar-besaran terhadap tokoh-tokoh yang dicurigai bersekutu dengan Israel.
- Di Tepi Barat, meningkatnya ketegangan bisa memicu kerusuhan massal yang menentang otoritas Palestina, yang dianggap gagal melindungi rakyat dari intervensi Israel.
- Di Israel sendiri, bisa terjadi peningkatan serangan balasan dari Hamas dan Jihad Islam yang melihat pengakuan Netanyahu sebagai alasan sah untuk memperluas operasi militer terhadap sasaran sipil di Israel.
Perspektif Hukum Internasional
Dari sisi hukum internasional, mempersenjatai kelompok non-negara dalam wilayah yang sedang berkonflik termasuk dalam pelanggaran prinsip-prinsip Piagam PBB dan hukum humaniter internasional.
Menurut Konvensi Jenewa, negara pendudukan tidak diperbolehkan mengintervensi struktur sosial-politik masyarakat sipil dengan cara militeristik. Jika terbukti Israel mempersenjatai klan-klan di Gaza, hal ini bisa digolongkan sebagai pelanggaran terhadap hukum perang dan membuka ruang untuk gugatan di Mahkamah Pidana Internasional (ICC).
Apa Kata Netanyahu?
Dalam pembelaannya, Netanyahu mengatakan bahwa langkah ini adalah “bentuk perlindungan terhadap rakyat Israel dari ancaman teror yang tumbuh di Gaza.” Ia menolak bahwa ini adalah provokasi atau upaya menciptakan perang saudara. Menurutnya, Israel berhak menggunakan segala cara yang tersedia untuk melindungi dirinya.
Namun, komentar ini dianggap oleh oposisi dalam negeri sebagai pernyataan putus asa yang menunjukkan bahwa Israel tak punya strategi jangka panjang yang konsisten dalam menghadapi Hamas.
Perbandingan dengan Konflik Global Lain
Langkah mempersenjatai klan lokal atau milisi bukan hal baru dalam konflik global. Beberapa contoh yang bisa dikaitkan antara lain:
- Afghanistan: CIA mempersenjatai mujahidin pada 1980-an untuk melawan Uni Soviet.
- Suriah: AS dan sekutu mempersenjatai pemberontak anti-Assad, yang kemudian menciptakan faksi-faksi ekstremis.
- Yaman: Iran mempersenjatai Houthi, yang menyebabkan perang saudara berkepanjangan.
Setiap kasus menunjukkan bahwa strategi seperti ini bisa berdampak jangka panjang yang tidak terkendali. Banyak pihak khawatir hal yang sama akan terjadi di Gaza.
Potensi Jangka Panjang
Jika Israel terus melanjutkan strategi ini, beberapa kemungkinan masa depan yang bisa terjadi antara lain:
- Pecahnya Gaza menjadi wilayah-wilayah dikuasai klan.
- Munculnya perang saudara mini antara Hamas dan kelompok-klompok lokal.
- Kehancuran struktur sosial Palestina akibat hilangnya kepercayaan antar-warga.
- Terbentuknya proxy war antara aktor internasional di tanah Palestina.
- Kemunduran besar dalam upaya rekonsiliasi nasional Palestina.
Dalam skenario terburuk, Gaza bisa berubah menjadi arena pertempuran berbagai milisi dan aktor eksternal, mirip dengan Suriah atau Libya.
Suara dari Masyarakat Gaza
Warga sipil di Gaza menghadapi ketakutan baru. Selain serangan udara dan blokade, mereka kini khawatir dengan kemungkinan kekerasan antar-klan. Sejumlah laporan menyebut bahwa beberapa keluarga mulai mempersenjatai diri untuk berjaga-jaga.
“Sudah cukup kami hidup di bawah Hamas dan Israel, sekarang kami harus takut kepada sesama warga?” kata seorang warga Gaza yang tidak ingin disebutkan namanya.
Penutup: Saat Pengakuan Menjadi Boomerang Politik
Pengakuan Netanyahu bahwa Israel mempersenjatai klan-klan di Gaza adalah tindakan yang sangat langka dalam politik Israel—di mana tindakan covert biasanya tetap tersembunyi. Namun kali ini, pengakuan tersebut justru menjadi boomerang yang merusak citra Israel di mata internasional, membuka pintu gugatan hukum, dan memperkeruh konflik yang sudah sangat kompleks.
Langkah ini memperlihatkan bagaimana strategi jangka pendek bisa menimbulkan kerusakan jangka panjang, terutama ketika yang dipertaruhkan adalah stabilitas, nyawa warga sipil, dan masa depan kawasan yang telah lama mendambakan perdamaian.
Baca Juga : MK Wajibkan Pendidikan Dasar Gratis di Sekolah Negeri dan Swasta, Dilakukan Secara Bertahap