Awal tahun 2025, pemerintah menyampaikan kabar baik bagi masyarakat kecil: akan ada diskon tarif listrik sebesar 50 persen untuk pelanggan rumah tangga dengan daya 450 VA dan 900 VA. Diskon ini direncanakan berlaku untuk bulan Juni dan Juli 2025, menyasar lebih dari 79 juta pelanggan. Kebijakan ini diumumkan secara luas melalui media massa, akun media sosial pejabat publik, dan konferensi pers resmi.
Namun, menjelang akhir Mei 2025, pemerintah mengumumkan bahwa diskon tersebut batal direalisasikan. Keputusan ini sontak memicu kehebohan. Warga yang telah menanti keringanan beban tagihan listrik merasa kecewa, dan sebagian besar merasa telah dikhianati oleh janji yang sudah sempat dipublikasikan secara masif.

BAB 2: DPR Angkat Bicara – Bukan Sekadar Kebijakan Teknis
Menanggapi pembatalan diskon tarif listrik, berbagai anggota DPR RI, khususnya dari Komisi VII yang membidangi energi, melontarkan kritik keras. Mereka menyayangkan cara pemerintah mengelola kebijakan publik yang dianggap tidak konsisten dan terkesan menjadikan rakyat sebagai objek eksperimen kebijakan.
Salah satu anggota DPR menyatakan dengan tegas, “Rakyat bukan bahan konten viral. Jangan buat kebijakan yang diumumkan duluan, diviralkan, lalu dibatalkan tanpa tanggung jawab yang jelas.” Ia menambahkan bahwa pengumuman kebijakan bantuan sosial semestinya melalui proses kajian matang dan kalkulasi fiskal, bukan untuk tujuan pencitraan semata.
Pernyataan ini disambut oleh masyarakat luas, terutama pengguna media sosial yang merasa telah diberikan harapan palsu oleh pemerintah. Kritik DPR menjadi suara publik yang selama ini mungkin tidak tersampaikan secara langsung.
BAB 3: Alasan Pembatalan dari Pemerintah
Pemerintah menyampaikan bahwa pembatalan diskon tarif listrik dilakukan karena sejumlah kendala teknis dan administratif. Menteri Keuangan menyebutkan bahwa proses penganggaran di tengah dinamika fiskal membutuhkan waktu, sementara proses pencairan bantuan langsung seperti subsidi upah lebih siap secara data dan sistem distribusi.
Sebagai gantinya, anggaran yang awalnya dialokasikan untuk diskon listrik kemudian dialihkan untuk subsidi upah bagi pekerja dengan penghasilan di bawah Rp 3,5 juta per bulan serta guru honorer. Namun, menurut DPR, meskipun tujuan bantuan itu baik, cara pemerintah dalam menggulirkan dan kemudian membatalkan diskon listrik menciptakan kegaduhan yang tidak perlu.
BAB 4: Pencitraan Lewat Kebijakan Populis – Tuduhan DPR
Di tengah kekisruhan ini, DPR mulai menyoroti pola komunikasi pemerintah yang kerap dinilai terlalu populis. Menurut sejumlah anggota legislatif, kebijakan yang berdampak langsung kepada rakyat kecil seharusnya diumumkan setelah melalui kajian matang, bukan sekadar menjadi bagian dari strategi komunikasi politik.
“Kami tidak anti subsidi atau bantuan. Tapi kami tidak ingin kebijakan ini jadi bahan pencitraan politik atau konten viral belaka,” ucap salah satu legislator senior. Ia menyebut bahwa pengumuman diskon listrik dilakukan terlalu dini, tanpa kesiapan anggaran dan tanpa simulasi implementasi yang konkret.
Akibatnya, publik menganggap pemerintah tidak serius dan hanya berusaha membangun citra positif, meskipun akhirnya kebijakan itu tidak bisa dijalankan. Ini dianggap sebagai bentuk ketidakseriusan dalam menyusun program perlindungan sosial.
BAB 5: Dampak Psikologis pada Masyarakat Kecil
Penting dicatat bahwa kebijakan bantuan yang dibatalkan bukan hanya berdampak pada sisi ekonomi, tetapi juga sisi psikologis masyarakat. Mereka yang telah berharap mendapat diskon listrik merasa kembali dibebani dengan biaya rutin yang sulit ditekan, terutama di tengah kondisi harga kebutuhan pokok yang belum sepenuhnya stabil.
Bagi keluarga kecil di daerah pedesaan, diskon listrik sebesar 50 persen dalam dua bulan bisa berarti banyak: penghematan untuk kebutuhan dapur, pendidikan anak, atau bahkan tabungan darurat. Saat harapan itu dihapuskan begitu saja, muncul kekecewaan mendalam yang tidak selalu tersuarakan secara terbuka.
BAB 6: Perspektif Ekonomi – Mana yang Lebih Efektif?
Secara fiskal, pemerintah berdalih bahwa subsidi upah lebih efektif dibanding diskon tarif listrik. Sebab, bantuan langsung tunai dianggap lebih cepat tersalurkan, lebih tepat sasaran, dan bisa digunakan untuk berbagai kebutuhan dasar.
Namun, DPR menilai perbandingan itu tidak serta merta menjustifikasi pembatalan diskon listrik yang telah diumumkan sebelumnya. Subsidi upah dan diskon listrik menyasar kelompok yang sedikit berbeda, dengan kebutuhan dan kondisi sosial-ekonomi yang juga berbeda. Kebijakan yang semestinya saling melengkapi justru menjadi alasan untuk membatalkan satu sama lain.
Beberapa ekonom yang dimintai pendapat menilai bahwa dari sisi multiplier effect, bantuan langsung seperti subsidi upah memang lebih berdampak secara konsumsi. Namun, kebijakan semestinya tidak berjalan zig-zag, apalagi dalam hal yang menyangkut kebutuhan dasar rakyat.
BAB 7: Pembelajaran dari Kebijakan yang Tidak Konsisten
Pembatalan diskon tarif listrik di pertengahan jalan ini bukan pertama kali terjadi dalam sejarah kebijakan bantuan sosial di Indonesia. DPR mengingatkan bahwa inkonsistensi seperti ini akan melemahkan kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Bahkan, dalam beberapa kasus sebelumnya, pembatalan bantuan atau perubahan skema secara tiba-tiba seringkali berujung pada keresahan sosial, terutama di daerah-daerah dengan akses informasi terbatas. Ketika masyarakat tidak memahami alasan teknis di balik pembatalan, yang mereka lihat hanyalah janji yang tidak ditepati.
Menurut DPR, ini menjadi pelajaran penting agar semua kementerian dan lembaga pemerintah memperbaiki sistem perencanaan dan komunikasi publik mereka. Jangan sampai pengumuman bantuan dilakukan hanya berdasarkan popularitas atau pencapaian target eksposur media.
BAB 8: Menakar Efektivitas Subsidi Upah sebagai Pengganti
Meski menuai kritik, subsidi upah tetap digulirkan pemerintah sebagai pengganti dari diskon listrik. Pemerintah mengklaim bahwa dengan data dari BPJS Ketenagakerjaan dan Kementerian Pendidikan, bantuan dapat disalurkan lebih cepat dan menghindari potensi keterlambatan pencairan seperti yang terjadi pada program diskon listrik.
Namun, DPR mempertanyakan transparansi dalam seleksi penerima subsidi upah. Apakah benar-benar tepat sasaran? Apakah para pekerja informal dan buruh harian lepas yang tidak terdaftar di BPJS juga turut menerima? Jika tidak, maka kelompok paling rentan justru tidak mendapatkan manfaat apa-apa—baik dari diskon listrik yang batal maupun subsidi upah yang disalurkan.
BAB 9: Pandangan Akademisi dan Masyarakat Sipil
Kalangan akademisi dan lembaga masyarakat sipil juga angkat suara. Mereka menyayangkan praktik pengumuman kebijakan yang mendahului kesiapan sistem dan anggaran. Ini menunjukkan lemahnya tata kelola perencanaan di sektor perlindungan sosial dan energi.
Sejumlah lembaga think-tank menyarankan agar pemerintah menyusun skema komunikasi kebijakan yang lebih hati-hati, serta mengembangkan sistem peringatan dini dalam implementasi bantuan sosial. Mereka juga mendukung desakan DPR agar dilakukan audit terhadap proses kebijakan diskon listrik yang batal ini.
BAB 10: Harapan Terhadap Pemerintah dan Evaluasi Kebijakan Publik
Sebagai lembaga legislatif yang mewakili suara rakyat, DPR berharap pemerintah tidak lagi menggunakan pendekatan “umumkan dulu, evaluasi kemudian” dalam menyusun kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Rakyat bukan konten viral, bukan angka statistik, dan bukan pula alat promosi.
Yang dibutuhkan rakyat adalah kepastian, konsistensi, dan keberpihakan yang nyata dalam tindakan, bukan hanya janji dalam pidato atau unggahan media sosial. Pemerintah diharapkan lebih berhati-hati dan transparan dalam mengomunikasikan bantuan sosial apa pun bentuknya.
Langkah ke depan harus dimulai dengan membangun koordinasi antarkementerian yang solid, evaluasi menyeluruh terhadap proses pengambilan keputusan, serta komitmen untuk tidak mengulangi kesalahan serupa.
Penutup: Membangun Kepercayaan Lewat Konsistensi
Pembatalan diskon tarif listrik untuk bulan Juni–Juli 2025 adalah contoh nyata bagaimana komunikasi kebijakan yang kurang matang bisa memicu kekecewaan besar di tengah masyarakat. Sekalipun niat pemerintah baik—mengalihkan dana ke subsidi yang lebih efisien—cara menyampaikan dan menjalankan keputusan tersebut sangat menentukan persepsi publik.
DPR, sebagai representasi rakyat, menegaskan bahwa pemerintah harus berhenti menjadikan rakyat sebagai “penonton” dalam drama kebijakan yang inkonsisten. Rakyat butuh keadilan, kepastian, dan perlakuan bermartabat dalam setiap kebijakan yang menyangkut hidup mereka.
Pemerintah perlu belajar dari pengalaman ini dan membangun kembali kepercayaan publik melalui tindakan nyata, bukan hanya kata-kata.
Baca Juga : MK Wajibkan Pendidikan Dasar Gratis di Sekolah Negeri dan Swasta, Dilakukan Secara Bertahap