Site icon jembatanberita.my.id

Anggota DPD DKI Minta Pemerintah Turun Tangan atas Mangrove Rusak di Pulau Pari: Seruan Penyelamatan Ekosistem Pesisir Jakarta

Pulau Pari, salah satu pulau kecil yang masuk wilayah administratif Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, kembali menjadi sorotan publik. Bukan karena keindahan pasir putihnya atau potensi pariwisatanya, tetapi akibat kerusakan hutan mangrove yang terus terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Mangrove yang seharusnya menjadi benteng alam bagi ekosistem laut dan darat justru menyusut drastis akibat aktivitas manusia dan lemahnya perlindungan hukum.

Baru-baru ini, Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dari DKI Jakarta menyampaikan desakan keras agar pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta segera turun tangan menangani kerusakan mangrove di Pulau Pari. Desakan ini lahir dari keprihatinan akan minimnya langkah nyata dalam menyelamatkan kawasan pesisir yang semakin terancam.

Bab 1: Potret Pulau Pari dan Signifikansi Ekologisnya

Pulau Pari berada sekitar 10 km dari daratan Jakarta. Meskipun kecil, pulau ini memiliki kekayaan ekologis yang besar, termasuk hutan mangrove yang dulunya membentang cukup luas di bagian barat dan selatan pulau. Mangrove di Pulau Pari:

Namun dalam satu dekade terakhir, konversi lahan, abrasi, pembangunan tidak berkelanjutan, dan minimnya pengawasan membuat keberadaan mangrove menyusut signifikan.

Bab 2: Kerusakan yang Terjadi dan Skala Krisis

Berdasarkan catatan warga dan penelitian LSM lingkungan, kawasan mangrove di Pulau Pari menyusut hampir 60% dalam kurun waktu 15 tahun. Banyak tanaman mangrove yang ditebang untuk dijadikan lahan kosong atau fasilitas pariwisata. Terlebih, proyek reklamasi dan pembangunan resort turut menekan kawasan konservasi ini.

Hutan mangrove yang tersisa kini hanya bisa ditemukan di beberapa titik seperti:

Kerusakan ini diperparah dengan naiknya muka air laut (sea level rise), membuat kawasan mangrove yang tersisa rawan tergenang dan mati perlahan.

Bab 3: Seruan Anggota DPD DKI Jakarta

Salah satu anggota DPD RI dari DKI Jakarta, dalam kunjungannya ke Pulau Pari bulan Juni 2025, menyampaikan pernyataan tegas:

“Kami mendesak Pemprov DKI dan pemerintah pusat untuk tidak lagi menutup mata. Ini bukan sekadar kerusakan lokal, tetapi ancaman nasional bagi kawasan pesisir Jakarta,”

Anggota DPD itu menekankan perlunya:

Bab 4: Warga dan LSM: Kami Sudah Lelah Melapor

Di sisi lain, warga Pulau Pari mengaku sudah berulang kali melapor ke instansi terkait. Namun responsnya cenderung lamban, bahkan terkadang tidak ada tindak lanjut. Kelompok masyarakat seperti Forum Peduli Pulau Pari dan beberapa LSM telah mengadvokasi isu ini sejak 2017.

Salah satu warga menyebut:

“Kami menanam mangrove sendiri tiap tahun, tapi banyak yang tumbang karena proyek sebelah merusak drainase alam.”

LSM lingkungan seperti WALHI, Greenpeace, dan Koalisi Selamatkan Pulau Kecil juga menyuarakan hal serupa: tanpa political will dari pemerintah, ekosistem pulau akan punah perlahan.

Bab 5: Mangrove, Pariwisata, dan Kapitalisasi Pulau

Salah satu akar masalah kerusakan mangrove adalah benturan kepentingan antara konservasi dan investasi. Pariwisata di Pulau Pari memang tumbuh, tapi tidak diimbangi dengan perencanaan tata ruang yang berkelanjutan.

Resort, homestay, dan villa berkembang pesat. Namun:

Ironisnya, kawasan mangrove malah dijadikan objek wisata foto, tapi tanpa upaya pelestarian berarti.

Bab 6: Peran Pemerintah Provinsi DKI: Kurang Tegas

Meski Dinas Lingkungan Hidup DKI dan Pemkab Kepulauan Seribu telah beberapa kali melakukan pemantauan, tapi belum ada kebijakan tegas menyeluruh yang bisa menyelamatkan mangrove secara sistemik. Banyak warga dan aktivis menyebut lemahnya regulasi dan pengawasan lapangan.

Audit tata ruang dan pemetaan ulang zona konservasi menjadi desakan utama. Selain itu, anggaran pemulihan mangrove juga dinilai belum memadai.

Bab 7: Solusi yang Ditawarkan: Dari Regulasi hingga Aksi Nyata

Anggota DPD dan berbagai elemen masyarakat mengusulkan beberapa langkah penyelamatan konkret:

  1. Zona konservasi mangrove harus dikunci dalam RTRW Kepulauan Seribu
  2. Pembangunan wisata harus tunduk pada Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL)
  3. Memberdayakan warga untuk menjadi penjaga hutan mangrove
  4. Memberikan insentif ekologis bagi pelaku usaha wisata yang mendukung konservasi
  5. Melakukan penegakan hukum terhadap pelaku perusakan mangrove

Bab 8: Dampak Kerusakan Terhadap Ekosistem dan Ekonomi Lokal

Kerusakan mangrove di Pulau Pari bukan hanya soal lingkungan, tapi juga berdampak luas:

Ini menunjukkan bahwa mangrove bukan hanya “pohon pantai”, tetapi fondasi ekosistem dan ekonomi pulau kecil.

Bab 9: Studi Kasus Pulau-pulau Lain: Bisa Ditiru

Beberapa contoh keberhasilan restorasi mangrove dapat dijadikan acuan:

Artinya, jika dikelola serius, mangrove bukan hanya menyelamatkan alam tapi juga menjadi sumber pendapatan baru.

Bab 10: Penutup dan Seruan Aksi

Pulau Pari kini berada di titik kritis. Jika tidak segera dilakukan langkah nyata, dalam 10 tahun ke depan, pulau ini bisa kehilangan garis pantainya, menurunkan nilai ekonomi wisata, dan kehilangan daya dukung ekologis.

Anggota DPD DKI Jakarta telah memberi sinyal kuat. Kini saatnya pemerintah, terutama Pemprov DKI Jakarta, bertindak lebih tegas. Masyarakat dan aktivis sudah bergerak. Ilmuwan dan data sudah bicara. Tinggal keberanian politik yang menentukan.


Kesimpulan:

Kerusakan mangrove di Pulau Pari adalah panggilan darurat ekologis yang tidak bisa ditunda lagi. Butuh kolaborasi kuat antara masyarakat, legislatif, dan pemerintah. Jika ekosistem mangrove mati, maka harapan masa depan Pulau Pari pun ikut tenggelam. Menyelamatkan mangrove bukan sekadar aksi hijau, tapi juga menyelamatkan kehidupan dan keberlanjutan Jakarta dari laut.

Baca Juga : Isi Kesepakatan Muzakir Manaf dan Bobby Nasution soal Sengketa 4 Pulau Aceh-Sumut: Upaya Damai Demi Kedaulatan dan Persatuan

Exit mobile version